Pojok kamar bercat putih pucat, malam sudah dari tadi
beranjak.
Menjumpai Bunda, Apa kabar bunda?
Bunda, aku ingin menyebutmu demikian, sebagai
penghormatan yang tiada tara.
Malam ini, bulan sembunyi dengan angkuhnya, hingga aku
tak bisa memandangi warna peraknya. Bintang yang gemerlapan itupun malah ikut
mempermainkanku dengan tidak menampakkan diri. Padahal aku sangat ingin
bermain-main sejenak, menerbangkan berbagai perasaan. Pada patahan malam ini,
hanya ada deru angin yang sedang mencandai daun-daun pohon mangga di seberang
kamar. Aku merasakannya dalam gelap. Sesekali aku memandangi langit megah tak
berpenyangga.
Bunda,
Malam keheningan hebat ini aku selalu membayangkan
senyuman ikhlas yang bunda sunggingkan setiap menjumpaiku. Sebuah senyuman yang
sudah menjadi desah nafas tiada pamrih. Aku memahatnya dalam tiap bingkai indah
di ruang hati yang sudah menemaniku selama ini.
Oh iya bunda,
Aku masih ingat saat aku dengan tanpa beban memintamu
menjadi seorang putri raja. Dan bunda menjelma putri raja sepenuh hati,
menemaniku bermain saat aku menjadi permaisuri raja. Aku senaang sekali. Padahal
kemarinnya aku menginginkan mu berubah menjadi pendongeng, dan sebentar
kemudian engkau mulai membuaiku dengan banyak cerita. Aku mungkin akan
mengingatnya selalu dalam benak sebagai kenangan tidak biasa. Saat bunda
melompat seperti kodok, tertawa menyeramkan seperti nenek sihir, berdesis
kepedasan saat monyet mencuri cabai petani. Saat itu aku pasti latah
mengikutimu.
Baru kusadari, ternyata bunda bisa menjelma peran apa
saja. Koki pintar yang selalu memuasiku dengan makanan tak bertarif. Atau seorang
psikolog handal, yang berjam-jam rela menjadi keranjang sampah cerita rutinitas
ku tanpa harus dibayar. Dokter yang menjagaku sepanjang malam tanpa lelap
sedikitpun, kala aku harus terbaring mengalami sakit dan itu gratis. Kali lain
engkau menjadi sahabat dekat yang mengingatkanku untuk berhati-hati dengan
seorang pangeran, saat itu aku tersenyum malu, ternyata kau bisa menebak apa
yang belakangan itu terjadi. Oh iya aku tidak lupa, ketika bunda menjahitkan ku
sebuah gaun krem bermotif sekuntum bunga, meski kau kerjakan manual tapi
hasilnya membuatku berucap, "Wah bunda hebat!". Dan aku selalu
mengangsurkan geraian rambut ini, tentu saja dengan berdendang bunda akan
melakukannya dengan hasil baik. "She is a special barber".
Bunda sayang,
Besok adalah hari "jadiku". Yah, setiap hari
bertanggal 4 di bulan ini ku lewati setiap tahun. Ingatkah bunda, tentang hari
besar itu? Aku tahu jawabannya, karena tiap hari itu, bunda akan menyambut dan
memelukku dengan berucap "Tambah satu tahun lagi usia anak bunda".
Meski tidak pernah ada pesta, aku selalu senang, karena sudah ada hadiah yang
paling indah, it's u bunda!.
Bunda,
Sembilan belas tahun, usiaku esok, Sudah selama itukah
aku menapaki hidup? Perasaan baru kemarin aku mengeja "Ini Budi" dan
menghapal perkalian 3. Sepertinya baru kemarin aku merepotkanmu dengan
pertanyaan-pertanyaan ibukota propinsi di Indonesia. Ah bunda, masih segar
rasanya merengek-rengek ingin ikut ke kota
bersamamu. Padahal sekarang aku bisa pergi kapan saja tanpa takut tidak
ditemani.
Sudah selama itukah aku menjadi bebanmu? (Aku sangat
yakin engkau tidak berkenan dengan penggunaan kata "beban"). Bagimu,
aku adalah tempat untuk mengekspresikan banyak hal, kasih sayang, ketulusan,
kebijaksanaan, keluhuran budi, kekayaan alami, kecerdasan, kearifan. Untukmu,
aku adalah perwujudan cinta hakiki. Satu hari bunda menangis melihat darah yang
keluar ketika aku terjatuh, dan bunda memelukku erat, "Sayang... berikan
rasa sakit itu untuk bunda". Ah bunda, andai saat itu bisa kubujuk untuk
kembali, aku tak akan meraung-raung dan tidak membuatmu khawatir, aku akan
berkata "Aku baik-baik saja bunda".
My dear bunda,
surat ini sengaja aku tulis. Agar aku bisa menyapamu dengan
agung, biar perasaan romantis ini bisa leluasa mengalir. Aku malu
menyampaikannya secara langsung. Rasa terima kasih yang menggumpal dalam dada
ini biarlah terangkai dalam kalimat-kalimat berirama sopran. Ah, bunda, aku tak
punya keberanian untuk menyanjungmu terang-terangan, seperti yang selama ini
bunda persembahkan. "Ayo sayang, tidurlah" atau "Duh anak bunda
paling cantik sedunia" atau "Jangan begitu, bunda yakin kau anak
pintar dan mampu melakukannya dengan baik" bahkan "Anak sholehah tak
akan melakukan ini", "Geulis, pinter,sholeh......, anak gadis tak
baik menyanyi di kamar mandi".
My love bunda,
Kedewasaan (sebuah kata yang kutemukan dalam pelajaran
bahasa indonesia) seharusnya
menjadi milik seorang yang berusia 19 tahun kan? He..he.. sepertinya aku akan meminta
bantuanmu agar bisa memilikinya. Tolong yah!
Bunda, dalam sunyi, aku menyempatkan diri mengingat
pesanmu bulan lalu "Seiring usia yang bertambah, sebaliknya jatah umur
kita berkurang. Seseorang yang bergembira dengan hari kelahirannya,
sesungguhnya dia bersuka dengan majunya kematian". Iya bunda, aku setuju
dengan nasihatnya. Aku seharusnya menambah kadar mawas diri, memperbaiki
kualitas akhlak dan kepribadian, semakin ringan menolong sesama, makin bijak
dalam memilih dan tentu saja kian cendikia. "Tidak lupa diri". Itu
tambah bunda kemudian.
Bunda,
Terima kasih
sudah menyeberangkan aku ke usia ini dengan selamat. Terima kasih juga atas
rambu-rambu yang senantiasa menjadi pengarah hingga aku tidak terantuk dan
tersesat. Berjuta rasa bahagia, karena telah menjadi seorang ibu yang
bijaksana, seorang yang selalu mewarnaiku dengan do'a-do'a ikhlas, seorang yang
mendorongku untuk menjadi kaya ilmu dan budi. Jasa indah bunda tak terbilang.
Aku hanya mampu menggoreskanya dalam sebentuk puisi sederhana:
Dia seperti Rimbun pohon kebijaksanaan,
Yang selalu naungi dunia kecil milikku
Sebarkan wangi kedamaian
tak henti memberiku semangat menapaki hidup
Dia, menjelma telaga teduh sepanjang waktu,
Tempatku bertambat, bermain dan bermimpi
Riak airnya membiakkan banyak kebahagiaan
Menemani segala bentuk hari yang ku lalui
Aku tak pernah mendapatinya kering,
Meski musim tidak terhitung berganti
Aku tak pernah melihatnya tumbang
Walau gelombang yang mendera bertubi-tubi
Dia tetap tersenyum menjumpaiku
Dia tetap membagi aku dengan kecupan sayang
Bunda, aku menyebutmu demikian
Dan bunda, malam ini sudah sepatutnya aku mengulurkan
renda-renda do'a untuk mu. Doa yang bunda sendiri ajarkan. "Ya Allah,
ampunilah aku dan kedua orang tuaku, Sayangilah mereka seperti mereka
menyayangi dan mendidik aku di waktu kecil".
My beloved bunda,
bila esok tiba, tak kan kusia-siakan untuk mereguk kebersamaan
dengan engkau. Kesempatan untuk mendulang lebih banyak hal menakjubkan juga
tidak akan kumubadzirkan. Engkau adalah orang terkuat di dunia kecilku, dalam
naungan langit mungil yang selalu mengakrabkanku dengan dunia sebenarnya.
Engkau adalah muara dari segala hal yang aku butuhkan. Aku tidak akan menjadi
apa-apa bila keberadaanmu nihil. Dan bunda, bantu aku manjadi sosok yang
diharapkanmu. Karena aku sadar, tidak mudah membangunnya sendirian. Akhirnya
semoga bunda baik-baik saja. Semoga Allah selalu menyayangimu dengan memberimu
kekuatan untuk selalu menyayangiku :). Bunda, tunggu aku besok, aku berjanji
untuk membuatmu tersenyum menatap bola raksasa itu pergi ke kaki langit.
"Hueammmm" aku mengantuk, jam mungil yang
tergantung memberitahuku bahwa jarum pendeknya sudah ada di angka 2.
Sekian dulu bunda.
Peluk cium
dari ananda
0 komentar:
Posting Komentar